AdA sebuAh ironi harus dihadapi Martin Katoppo dan Ruth Oppusunggu. Suami istri yang berprofesi sebagai arsitek ini terbiasa mendesain dan membuat bangunan besar. Namun ketika mereka harus membangun rumah tinggal untuk mereka sendiri, mereka harus berhadapan dengan kenyataan mengenai biayanya yang besar. Membeli hunian siap pakai di kompleks perumahan yang sudah tertata, harganya sangat tinggi. Akhirnya dipilih jalan dengan membeli sebidang tanah 200 m² di tengah perkampungan. Meski letak perkampungan itu hanya dipisahkan sebidang tembok dengan perumahan modern, ironi kedua harus mereka hadapi. “Di kampung ini tidak ada sarana jalan yang memadai, bahkan sanitasi dan sistem pembuangan sampah pun tak tersedia,” cerita Ruth.

Menghadapi persoalan biaya dan kondisi sarana perkampungan yang minim, Ruth dan Martin akhirnya memutuskan untuk mendedikasikan bangunan yang akan mereka buat sebagai rumah eksperimental. Selama masa persiapan, pasangan arsitek ini mencari alternatif material yang bisa menekan biaya. “Suatu hari saya melihat carport yang dibangun dengan besi hollow. Dari situ kami tertarik untuk menggunakan besi hollow sebagai struktur utama rumah kami,” jelas Martin. “Sistem struktur ini 1,5 kali lebih murah dibandingkan struktur beton, 2 kali lebih murah jika dibandingkan struktur kayu, dan 3 kali lebih murah dibandingkan baja.” kata Martin. Masalah struktur bukan satusatunya persoalan yang berhasil menekan biaya. Pasangan yang memiliki 2 orang anak itu juga memanfatkan material lokal sebagai pelengkap bangunan. Antara lain gugus bambu untuk tampilan fasad, bilah bambu untuk partisi, dan kayukayu daur ulang untuk kusen, pintu, dan daun jendela. Dinding dan lantai pun minim keramik dan cat karena hanya selesai hingga acian. Sebagian dindingnya juga ada yang diberi aplikasi batu bata ekspos. Saat proses pembangunan berlangsung, banyaknya besi yang dipakai untuk struktur rumah itu menarik perhatian masyarakat sekitar.
Mereka menyebut rumah yang dibuat Ruth dan Martin sebagai “rumah besi”. Kedua arsitek ini kemudian menamai rumah mereka “200 Rumah Besi”. Angka 200 merujuk pada biaya pembuatan rumah yang menghabiskan Rp 200 juta – Rp 205 juta pada tahun 2010. Martin merinci, pembangunan rumah seluas 110 m² ini menghabiskan biaya Rp 1,2 juta/m² (tanpa mezanin) atau Rp 1,7 juta/m² (dengan mezanin). Di tengah melambungnya harga-harga material, biaya untuk membangun rumah ini memang bisa dibilang murah. Untuk menghadapi minimnya fasilitas air bersih dan pembuangan sampah, Ruth dan Martin membuat sistem pemanfaatan air hujan dan menerapkan pengelolaan sampah mandiri. “Mau tidak mau, kalau kita ingin bahagia menghuni dan menikmati rumah kita, kita harus berpikir, bertindak, dan bergiat dalam menghadapi keterbatasan yang ada di lingkungan tempat rumah kita berada,” tutur Ruth. Selain itu rumah ini juga di bekali dengan genset jakarta yang berkualitas. Di supply dari Supplier jual genset jakarta terbaik ruth yakin rumahnya akan semakin nyaman di tinggali